Biru Berarti Kesedihan

kith
3 min readAug 12, 2023

Dalam sebuah diam, saya selalu bersua kepada angin untuk membawa terbang semua perasaan biru yang mendarat di hati. Saya sulit mengendalikan sang biru, ia terlalu kokoh, keras kepala, mengendap dan membentuk tempat tinggal di hati saya. Hingga saat ini, saya tidak tau obat untuk meredakan biru selain kehadirannya apa?

Saya sempat berbincang kecil bersama sang biru di suatu satu malam, ia akhirnya menjawab dengan segala kepasrahannya: katanya, saya terlalu berusaha keras dalam menahan rasa. Berminggu-minggu saya lalui untuk melepaskan rasa hanyalah sebuah angan-angan belaka, tidak ada satu pun rasa kasih sayang yang lepas dari hati saya untuknya. Karena saya merasa, cinta yang tak ia sebutkan cinta berkali-kali lipat membuat saya merasa dicintai, hingga saya tidak memiliki alasan yang lebih kuat untuk melepaskannya. Tetapi, karena saya terlalu berusaha keras dalam menahan rasa, sang biru terus berdatangan menancabkan luka.

Bagi saya, janji adalah hal yang sakral. Saya terpatung beberapa saat setelah menerima hadiah ulang tahun berupa baju berwarna merah muda yang semakin akrab di mata setelah saya mengenal Kalisa. Gadis manis yang saya kenal tersebut menepati omongannya, dan saya senantiasa menepati omongan saya dengan mengenakannya bersama bayang-bayang kerinduan yang mengambang di udara. Saya merasa sedang didekap oleh kehadirannya, dipeluk oleh sentuhan wangi cherry, rose, vanilla, dan bergamot yang begitu bersahabat dengan penciuman. Saya.. seperti sedang berada di pelukannya lagi.

Walaupun begitu, ada satu janji yang saya ingkari secara tidak sengaja. Bahwa saya pergi menyaksikan penampilan penyanyi kecintaannya bersama dengan wanita lain. Bagi Kalisa, mendengarkan alunan soulful dari lagu-lagu Bruno Major adalah mimpinya, menjadi manusia pertama yang mendengarkan album baru beliau adalah sebuah tujuan, dan menjelaskan makna-makna penuh arti dari setiap lirik yang ia resapi adalah keharusan. Maka, malam ini, saya menjadi lelaki terbodoh dengan penuh penyesalan yang menggerogoti pikiran.

Setelah melajukan mobil dari Jakarta menuju Bandung, tempat yang menjadi tujuan saya pada tengah malam adalah rumah Kalisa di Cipaganti. Saya duduk termenung di dalam mobil dengan satu batang rokok yang habis dihisapi hingga melambung ke paru-paru. Kepala saya bertengkar hebat dengan sang langit malam: dingin, gelap gulita, dan hening.

Mengapa rasanya saya telah mengkhianati hati kecil di dalam sana? Mengapa rasanya semua biru dalam diri saya terbang ke hatinya?

Saya ingin merasakan perasaan Kalisa di dalam sana, saya ingin menyerap kembali birunya hingga tak ada lagi rasa sedih yang tersisa. Saya ingin menatap matanya dan membuktikan bahwa tidak ada janji yang teringkar, tidak ada rasa yang berubah, dan tidak perlu ada biru yang mengganggu malamnya.

“Kal udah tidur, Kes.”

Saya mengangguk paham pada Karina, memahami kondisi waktu yang terlampau lambat. “Iya. Cuma pengen tau keadaannya gimana?”

Karina terkekeh. “Enggak berhenti nangis.”

Saya diam sejenak. “Nitip, Rin.”

Karina mengangguk. Niat saya untuk kembali merenung di dalam mobil terhenti setelah Karina mengatakan, “Kal udah gak ada apa-apa sama Kang Malik.”

“Hah?”

“Mereka gak pernah balikan.”

Malam itu saya tau, menahan rasa yang sudah tertanam dengan baik untuknya adalah keahlian saya. Sehingga, biru dalam diri saya menjadi tanggungjawab saya seutuhnya. Biru adalah salah satu resiko yang siap saya terima untuk tetap mencintainya.

--

--

No responses yet