Setelah beberapa menit sampai di salah satu pemakaman yang ada di Bogor — tempat Bunda Tsahara beristirahat — Tsahara masih belum berani turun dari mobil untuk menemui sang bunda. Malik di sampingnya memahami kondisi perempuan tersebut, ia berkali-kali meyakinkan Tsahara dengan mengelus bahunya lembut, berusaha untuk menyalurkan keyakinan bahwa segalanya akan baik-baik saja. Pada akhirnya Tsahara mengangguk, ia siap untuk menghadapi segala hal yang ada di depannya.
Sudah enam tahun lamanya tak berkunjung ke rumah bunda, Tsahara melihat banyak perbedaan yang terjadi. Rumput hijau yang tumbuh subur seolah-olah menyambut kedatangan Tsahara dengan baik, angin sepoi-sepoi mengacak-acak rambut Tsahara seolah mengatakan “selamat datang kembali” dengan begitu ceria. Hal pertama yang dilakukan Tsahara adalah duduk di sisi kanan bunda, menyapa sang bunda dengan membelai lembut batu nisan berbentuk salib yang terlihat begitu mewah dan memanjakan mata.
“Bun,” panggil Tsahara lembut. Malik mendengar suara Tsahara sedikit bergetar, sehingga ia ikut duduk di samping Tsahara dan meletakan tangannya di bahu perempuan tersebut. “Ini Greta, Bun, Greta di sini.”
“Udah terlalu lama, ya, Greta ngehindar dari Bunda? Ini Greta, Bun, Greta Tsahara anak Bunda satu-satunya. Emang sekarang Greta udah jauh berbeda dari enam tahun lalu, tapi ini tetep Greta anak Bunda, anak Bunda yang nggak pernah berani buat jenguk Bunda, anak Bunda yang selama ini ada di dalam kegelapan yang nggak pernah tau di mana jalan keluarnya. Selama ini Greta dihantui sama rasa bersalah Greta ke Bunda, karena Greta belum bisa jadi anak baik dan nurut sama semua perkataan Bunda, selama ini Greta selalu berdoa supaya bisa susul Bunda.”
Malik berusaha untuk menenangkan Tsahara, ia usap lembut bahu Tsahara agar perempuan tersebut selalu ingat ada ia di sampingnya.
Tsahara melanjutkan, “Bun, maaf kalo selama enam tahun ini Greta nggak jadi anak ceria yang selalu Bunda inginkan, Greta malah menutup diri dari orang-orang, dari Papa, dari Oma, dari semuanya. Greta takut Bun, Greta masih selalu pengen nyusul Bunda, Greta takut sendirian.”
“Bunda Greta, kenalin saya Malik Wartana.” Malik menghentikan Tsahara, ia mengambil alih kesempatan untuk berbicara dengan Bunda Greta di hadapannya. Sedangkan mata Tsahara kini beralih untuk menatap Malik dengan wajah penuh tanda tanya. “Kalo Bunda Greta ketemu sama ayah saya yang namanya Adam Wartana si surga, tolong saya titip salam, ya, tolong sampaikan kalo anak Bunda dan anak beliau, yaitu saya, selalu memberikan doa dari sini.” Malik menatap dalam bola mata milik Tsahara yang sedari tadi memperhatikannya berbicara dengan sang bunda. “Bunda Greta juga jangan khawatir, di sini Greta aman sama saya, Greta juga udah mulai ke gereja lagi, udah mulai makan banyak lagi, dan udah mulai ceria lagi. Saya pastikan, Greta nggak akan lagi punya pikiran untuk nyusul Bunda, dan setelah ini Greta akan jadi anak baik yang lebih sering kunjungi Bunda.”
Malik tersenyum ke arah Tsahara, kemudian perempuan tersebut menghabiskan waktunya di makam sang bunda dengan diam, seolah-olah semua doa di dalam hatinya sedang disampaikan. Setelah puluhan menit berlalu, langit bogor semakin mendung, mungkin pada sore ini Kota Hujan tersebut akan beraksi menerjang bumi. Malik menggenggam tangan Tsahara untuk membantunya berdiri, tetapi Tsahara tidak mau bergerak, ia masih fokus memandangi sang bunda dengan tatapan sendu.
Malik membuka suaranya. “Tsa, nanti kita balik lagi, ya? Sekarang kita pulang dulu, udah mau hujan.”
Tsahara diam sejenak sebelum ia berpamitan dengan sang bunda. “Bun, Tsahara pulang dulu, Tsahara janji bakal balik lagi ke sini.”
Setelah itu, Malik menarik secara perlahan tangan Tsahara untuk mengikuti langkahnya. Berkali-kali Tsahara menengok ke belakang untuk memastikan bahwa kuburan bunda masih ada di sana, memastikan bahwa masih ada kesempatan untuknya kembali menyapa sang bunda. Malik yang menyadari hal itu kemudian berhenti di bawah bangunan yang tak terguyur air hujan, membiarkan Tsahara untuk memandangi kuburan sang bunda walaupun dari jauh. Setelah beberapa menit berlalu, hujan turun semakin ramai, Malik merangkul Tsahara dengan lengan kanannya berusaha untuk membuat perempuan di sampingnya tidak kedinginan. Karena hal tersebut, Tsahara menatap wajah Malik yang terciprat air hujan di beberapa bagiannya, berusaha untuk menatap matanya seolah-olah sedang menyampaikan isi hatinya dengan tulus. “Malik, thank you.”
Malik tersenyum manis, ia mengangkat tangan kirinya dengan lebar seolah mempersilakan Tsahara untuk masuk ke dalam pelukannya. Tsahara melakukannya, ia mendekatkan dirinya ke tubuh Malik agar lelaki tersebut dapat merengkuhnya, memeluknya dengan hangat, menyalurkan semua emosi baik yang ada di hatinya. “You did great, Greta, you did really great.”
Kith, 2024.